Anehnya Negeri Indonesia Ini..?

Seperti biasanya, saya melakukan perjalanan dan kali ini dengan menaiki bis umum. Alasan yang seringkali saya gunakan adalah naik bis mengurangi resiko ketika saya harus mengendarai motor sendirian. Untuk sampai ke tempat tujuan, begitu naik bis saya bisa langsung molor (tidur) dan tahu-tahu sudah ada di tempat yang saya inginkan. Saya memang tidak begitu memperhatikan tingkat kenyamanan bis umum yang jauh dari kata tertib dan tertata sebagaimana kondisi di tempat umum lainnya yang ada di negeri ini. Apalagi ketika tempat umum itu dikelola oleh swasta yang hanya memperhatikan pendapatan daripada profesionalitas sebagai pedagang jasa. Dari terminal Purwodadi, saya menuju ke Kecamatan Godong. Kali ini pilihan saya jatuhkan untuk menaiki bus jurusan Demak yang terkenal cepat dan agak ugal-ugalan. Meskipun bis jurusan Purwodadi-Demak hanya berukuran ¾ dari bis antar propinsi, tetapi kelihaian mereka untuk menirukan gaya sumacher tidak diragukan lagi. “Wus..wus..wus...dan sampai.” Konon begitu mitosnya. Benar saja, begitu bis bergerak keluar dari terminal dan terpisah dari rombongan bis lain yang mengular, sang sopir segera beraksi. Beberapa kendaraan lain di depan kami disalipnya dengan sukses tanpa cela. Goncangan kanan kiri yang menyerupai goyang ngebor Inul Daratista pun segera saya nikmati bersama kepala penumpang lain yang ikut-ikutan bergerak ke kanan dan ke kiri menyerupai orang sedang tripping di klub malam ataupun orang yang khusuk berdzikir di masjid. Sepertinya, tiga hal yang baru saja saya sebutkan ini bisa menghadirkan ekstase kelas wahid sesuai dengan kebutuhan masing-masing. “Ciiit..!” tiba-tiba bis berhenti. Dua orang berbeda penampilan naik dan bis kembali berjalan. Seorag di antaranya adalah pedagang tape keliling yang naik bis dengan membawa keranjang berukuran ¾ juga dibandingkan keranjang rumput para peternak sapi perah. Sedangkan seorang lagi berpakaian rapi lengkap dengan jas, kemeja, tas kulit, dan tetek bengek aksesoris khas pejabat atau pegawai kantoran. Meskipun dari jumlah lipatan kulit di keningnya pedagang itu terlihat lebih tua, tetai saya meyakini dia lebih “josh” staminanya dibandingkan orang kedua yang berusia jauh lebih muda. Setelah bis kembali berjalan, tiba-tiba anak sekolah yang duduk di depan saya berdiri. “Silahkan pak,” katanya memberi penawaran untuk orang kedua yang mengenakan jas rapi. Orang yang ditawari tersenyum,”Terimakasih dek,” jawabnya sambil menerima tawaran itu dengan senang hati. Bis terus melaju, tetapi kali ini saya tidak lagi memperhatikan orang berjas itu. Pandangan saya lebih tertarik pada bunyi “glodak-glodak” keranjang penjual tape yang berdiri tepat di samping saya. Ketika dia tahu saya mengamati keranjangnya, tiba-tiba dia bertanya,”Mau ke mana mas?” Saya jawab kalau saya mau ke terminal Godong.”Oh,” ucapnya dan setelah itu kembali diam. Tak lama kemudian orang yang mengenakan jas turun dari bis, dan anak sekolah itu kembali duduk di singgasananya semula. Saya kembali melirik ke penjual tape, dalam benak saya muncul pertanyaan,”Mengapa anak sekolah itu tidak menawarkan tempat duduknya untuk penjual tape yang terlihat lebih tua itu...?” Pertanyaan yang tidak pernah saya sampaikan sebelum kami (saya dan anak sekolah itu) turun berurutan di terminal Godong. Iseng-iseng saya berjalan mengikuti dia yang akan menunggu bis lain menuju rumahnya. “Dek, kalau dari sini mau ke Boyolali naik apa ya?” tanya saya mengambil antara untuk mengawali pembicaraan. “Naik bis jurusan Juwangi mas. Setelah itu oper lagi yang ke arah Boyolali.” Jawabnya dengan sopan. Saya menganggukkan kepala,”Adik sendiri mau ke mana?” “Truko.” Jawabnya singkat. Searah, pikir saya yang sebenarnya juga sudah tahu. Setelah mukadimah saya sampaikan, akhirnya saya masuk ke pertanyaan inti. “Tadi duduk di depan saya ya?” “Iya,” jawabnya sambil menatap wajah saya yang ganteng. Kembali saya menganggukkan kepala,”Boleh tanya sesuatu dek?” Mendengar pertanyaan itu, dia kembali menatap saya. “Kok tadi yang ditawarin kursi bukan bapak-bapak penjual tapenya, boleh tahu alasannya?” tanya saya. Dia tersenyum sambil membetulkan rambutnya yang tertiup angin.”Dia kan sudah biasa naik bis mas.” Jawabnya. “Memangnya orang yang adik tawarin tadi gak biasa naik bis ya?” tanya saya lagi. “Kayaknya sih begitu.” Jawabnya singkat. “Trus?” tanya saya mengejarnya agar memberi keterangan lebih. Anak sekolah itupun akhirnya menerangkan kalau dia kasihan melihat orang yang mengenakan jas itu jika harus berdiri.”Dia kan biasa naik mobil sendiri, kalau naik bis umum harus berdiri kan kasihan.” Setelah menghela nafas, dia melanjutkan,”Beda dengan penjual tape itu, meskipun dia lebih tua, tetapi dia kan biasa naik bis dan berdiri. Jadi sudah biasa.” Saya tersenyum mendengar jawabannya. Mungkin jawaban yang disampaikan oleh anak sekolah itu biasa saja dan umum disampaikan jika saya bertanya ke orang yang lain. Tetapi dari jawaban itu saya jadi berpikir,”Memangnya harus begitu ya?” Orang yang sudah biasa menikmat fasilitas mewah juga harus dilayani dan diberi pelayanan lebih dibandingkan orang yang sudah terbiasa dengan kehidupan kere_nya. Disadari ataupun tidak, hal ini sepertinya telah menjadi mindset masyarakat untuk menghormati orang-orang yang “dianggap” memiliki strata sosial lebih tinggi dibandingkan memberikan kepada yang lebih membutuhkan. Jika benar demikian, wajar saja seandainya masyarakat yang termarjinalisasi dalam kehidupan sosialnya akan abadi berada di dunia tidak nyamannya, karena sesama mereka pun melihatnya sebagai kewajaran dan lebih rela menyerahkan kenikmatan itu kepada orang-orang yang sudah bergelimang kenikmatan lain dalam hidupnya. Benar atau tidaknya hal ini, saya tidak akan bertanya ke anda. Tetapi saya akan membiarkan anda jika ingin menanyakannya ke diri anda sendiri. Benar atau tidaknya yang dilakuka anak sekolah itu juga bukan urusan saya, toh dia masih anak sekolah yang dengan tegas disebut sebagai warga belajar di negeri ini. Barangkali apa yang dia lakukan itu juga merupakan proses belajar bagi dirinya, atau mungkin dia sedang mengajari saya dengan teori terbalik yang harus saya cerna ulang. Bukankah dengan berpikir demikian akan menjadikan saya tidak merasa lebih tersiksa jika melihat hal-hal yang menurut saya,”Aneh di negeri ini...?” By: Aras Sandi

0 komentar:

Post a Comment