KEBEBASAN PERS DALAM DUNIA PERDAGANGAN

Pengertian Pers Secara singkat pengertian Pers menurut Kurniawan Junaedhie adalah sebutan bagi penerbit/perusahaan/kalangan yang berkaitan dengan media massa atau wartawan.Di dalam Pasal 1 butir 1 Undang‑undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ditegaskan bahwa Pers merupakan wahana sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Fungsi Pers Menurut pasal 3 Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang‑undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers mempunyai fungsi yang penting yaitu: sebagai media infrmasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial; sebagai lembaga ekonomi. Fungsi pers sebagai lembaga ekonomi mempunyai makna bahwa dalam menjalankan fungsinya pers harus menerapkan prinsip‑prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan para karyawan media penerbitan pers semakin meningkat dan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Kemerdekaan pers Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Pers Semakin Tenggelam di Dekapan Komersialisme. - Oleh : Sultani Dunia pers Indonesia semakin tenggelam dalam ideologi komersial, setelah ideologi kebebasan mampu diraihnya pascalengsernya kekuasaan Orde Baru. Sayangnya, pergeseran ideologi itu membuat fungsi media massa sebagai alat pendidikan masyarakat tidak lagi menjadi ciri yang kuat melekat. Kehadiran pers dalam sebuah sistem politik modern merupakan wujud dari kedaulatan rakyat, dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang demokratis. Melalui pers, kekosongan ruang publik yang terjadi, baik antarkelompok masyarakat maupun antara pemerintah dan masyarakat, bisa terjembatani. Pers sebagai instrumen komunikasi yang melibatkan manusia dalam jumlah yang besar menjadi forum bagi berlangsungnya dialog secara terbuka antarkelompok dalam masyarakat serta antara masyarakat dan pemerintah. Di sini pers memainkan peran sentral sebagai pemasok dan penyebar informasi yang diperlukan untuk memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan para penyelenggara negara. Pers yang bebas akan memainkan peran sebagai forum dialog yang demokratis, termasuk memberikan kesempatan bagi suara yang selama ini mungkin terabaikan. Ia juga memainkan peranan sebagai sumber informasi yang berharga, sebagai pelengkap atau bahkan bisa pula menjadi alat utama bagi proses pendidikan, serta sebagai alat kontrol yang efektif terhadap kinerja penguasa dan proses pembangunan. Kebebasan pers Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mencakup jaminan dan perlindungan hukum serta tidak adanya campur tangan atau paksaan dari pihak mana pun terhadap pekerjaan pers. Selain itu, pers nasional juga tidak dikenai penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dengan kata lain, di bawah aturan yang baru, kebebasan pers sebagai ekspresi dari hak asasi dan hak politik mendapat jaminan hukum. Di bawah sistem Orde Reformasi sekarang, fungsi pers tidak seharusnya sekadar medium penebar informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Sayangnya, pers di negeri ini, baik media cetak maupun media elektronik, hingga saat ini masih banyak berkutat dengan fungsi dasarnya sebagai medium penyebar informasi, hiburan, dan pendidikan. Kedua jenis media itu memang sudah mampu menjangkau mayoritas publik penggunanya dalam memberikan informasi. Setidaknya, mayoritas responden merasa puas dengan kemampuan media ini dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Begitu juga dengan fungsi hiburan yang dibawa oleh kedua media ini. Kepuasan responden terhadap aspek hiburan media massa tidak hanya terhadap apa yang disajikan oleh media elektronik, terutama televisi, tetapi juga dari yang mereka baca dari media cetak. Adapun untuk fungsi pendidikan, tampaknya responden masih lebih percaya kepada media cetak ketimbang media elektronik. Setidaknya, 57,2 persen responden merasa puas dengan fungsi pendidikan yang mereka dapat dari media cetak. Sementara responden yang puas dengan fungsi pendidikan yang diberikan oleh media elektronik hanya 42,5 persen. Apresiasi responden terhadap media cetak dan media elektronik itu mencerminkan tingginya kebutuhan informasi di masyarakat. Meskipun informasi yang diperoleh dikemas dalam perspektif yang berbeda-beda, tetapi soal aktualitas, obyektivitas, dan netralitas media selalu menjadi tolok ukur kejujuran media massa dalam mengungkapkan fakta. Terhadap tolok ukur itu, sebagian besar (62,0 persen) responden menilai, pemberitaan yang dilakukan oleh media massa saat ini sudah sesuai dengan fakta, sementara 33 persen responden malah menilai sebaliknya. Begitu juga dengan soal proporsionalitas pemberitaan. Bagi 51,9 persen responden, media massa saat ini sudah proporsional dalam memberitakan suatu peristiwa. Namun, pendapat ini ditentang 43,1 persen responden, yang melihat media massa saat ini cenderung melebih-lebihkan sebuah pemberitaannya. Soal keberpihakan media, lebih dari separuh bagian (53,7 persen) responden menilai media massa saat ini sudah berimbang dalam memberitakan sebuah peristiwa, sementara 42,5 persen responden menanggapi sebaliknya. Kendati demikian, keberhasilan pers itu tidak lantas membuat pers Indonesia bebas dari ekses negatif yang ditimbulkan akibat kebebasan pers yang dimilikinya. Benturan idealisme pers dengan kepentingan internal dan eksternal pers selalu mengondisikan pers Indonesia dalam posisi yang dilematis. Inilah persoalan klasik yang selalu melanda pers Indonesia selama ini. Peran pers yang begitu besar dalam pembentukan opini publik membuat lembaga ini selalu berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Pada masa Orde Baru, sering kali pers dipaksa mengakomodasi kepentingan pemerintah atau terpaksa berhadapan dengan penguasa jika bersikukuh mempertahankan idealisme kebebasannya. Namun, tampaknya dunia pers saat ini sudah bisa menikmati kebebasan. Setidaknya, lebih dari separuh bagian (52,6 persen) responden merasakan media massa saat ini sudah bebas dari pengaruh, terutama tekanan atau intervensi penguasa. Meskipun demikian, 43,6 persen responden malah merasa pengaruh pemerintah masih cukup kuat terhadap media massa. Berbeda dengan penguasa, pengaruh tokoh politik malah dirasakan cukup kuat di dalam kehidupan pers saat ini. Separuh bagian responden merasakan hal ini. Hubungan saling memengaruhi antara pers dan pihak yang berada di luar dirinya, seperti yang terungkap dalam jajak pendapat ini, memberi penegasan bahwa tidak ada independensi absolut dalam kehidupan pers. Fenomena ini bisa dilihat dari orientasi pers saat ini. Sebagian besar responden menilai media massa saat ini cenderung berorientasi pada aspek komersial ketimbang idealisme pers sebagai politik pembebasan. Kecenderungan ini bisa dilihat dari fenomena pemberitaan yang dilakukan media massa saat ini. Bagi media elektronik, untuk mengejar rating yang tinggi, program acara bersifat sensasional, yang kandungan pendidikannya untuk publik relatif rendah, semakin sering ditawarkan kepada publik. Unsur pornografi, kekerasan, hingga mistik pun dipublikasikan. Sebagian besar (64,5 persen) responden mengaku prihatin dengan tayangan televisi yang mengandung kekerasan. Menurut sebagian responden itu, penayangan adegan kekerasan di televisi pada masa reformasi ini sudah berlebihan. Begitu juga dengan tayangan yang berbau pornografi. Lebih dari separuh bagian (58,0 persen) responden mengaku, tayangan itu sudah berlebihan. Keprihatinan yang sama juga diungkapkan oleh 58,6 persen responden terhadap penayangan acara televisi yang berbau mistik. Kecenderungan serupa juga terjadi di media cetak. Kendati tidak separah yang ditayangkan media elektronik, publik tetap memprihatinkan pemunculan berita yang berbau pornografi, kekerasan, atau mistik. Begitulah wajah kebebasan pers Indonesia saat ini. Di satu sisi keberadaannya mencerminkan tanggung jawab sosialnya bagi masyarakat dan negara, namun di sisi lain, keberadaannya malah dikhawatirkan menghancurkan moral bangsa ini. Inilah eforia pers yang menghasilkan wajah pers Indonesia dengan karakter yang beragam seperti sekarang. Hubungan Pers Dengan Perdagangan 1. Serangkaian perundingan GATT tentang liberalisasi perdagangan inter-nasional yang dalam dekade 1990-an yang lalu disebut sebagai Putaran Uruguay, pers (cetak dan elektronik) merupakan salah mata dagangan atau komiditi harus dirundingkan untuk diliberalisasi. Tentu saja tuntutan liberalisasi berasal dari negara-negara maju. Bukan dari negara yang sedang berkembang. 2. Dimasukkannya pers ke dalam daftar mata dagangan yang dituntut oleh negara-negara maju menunjukkan bahwa pers sudah merupakan bidang usaha atau bisnis yang sangat menguntungkan. Artinya, pers tetap berfungsi sebagai pemasok informasi dan sekaligus membentuk publik, tetapi tidak untuk kepentingan rakyat atau sebagian terbesar warga masyarakat, melainkan untuk untuk kepentingan dagang atau bisnis para kapitalis di bidang industri barang maupun jasa. 3. Kolaborasi antara pemerintah dengan para pengusaha atau lebih tepat dikatakan sebagai semakin meningkatnya dominasi pengaruh pengusaha atau kapitalis terhadap proses pengambilan keputusan publik melalui pemerintah. Demokrasi ”downgraded” hanya menjadi semacam simbol atau jargon tanpa makna, karena bukan rakyat lagi yang menjadi pemilik satu-satunya yang sah suatu negara, melainkan sekelompok kecil orang kaya atau para kapitalis besar. Demokrasi hanya sekedar dimaknai sebagai kebebasan untuk berbicara atau menyatakan pendapat, adanya oposisi, tanpa menyentuh esensi demokrasi itu sendiri, yaitu meningkatnya keberdayaan rakyat dan tegaknya kedaulatan rakyat. 4. Perundingan dalam rangka Putaran Uruguay, yang diakhiri pada bulan Desember 1993, melahirkan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia pengganti GATT), dan beberapa dokumen tentang perdagangan barang, perdagangan jasa, TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights – menyangkut hak atas kekayaan intelektual) dan TRIMs (Trade Related Invesment Measures – menyangkut penanaman modal). 5. Hasil perundingan Putaran Uruguay, yaitu terbentuknya WTO dan semua dokumen-dokumen tersebut diratifikasi oleh Pemerintah RI pda tahun 1994. Sejak itulah, pers menjadi wilayah bisnis. Sejak itulah, pendidikan pun menjadi wilayah bisnis. Sejak itulah, hasil kerja budaya kolektif atau gotong royong dalam bentuk kesenian dan kerajinan dipatenkan. Maka pemegang HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas tempe, tahu dan beberapa desain batik serta kerajinan berada ditangan orang-orang non-warga negara Indonesia. Jiwa dan semangat gotong royong dilibas oleh jiwa dan semangat invidualisme-komersialistik. Sejak itulah, pendidikan tidak lagi menjadi tugas pokok pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, melainkan menjadi komoditas atau mata dagangan yang terbuka bagi penanaman modal asing. Mencerdaskan kehidupan bangsa tidak lagi menjadi tanggung jawab pokok pemerintah, melainkan sebagian sudah diambil alih oleh badan usaha komersial. Bidang usaha eceran atau ”retail” sudah terbuka untuk pemilik modal besar , baik nasional maupun asing. 6. Oleh karena itu, kalau ada orang yang protes karena terkaget-kaget dengan berubahnya fungsi pers, bisa dianggap sebagai “bangun kesiangan”. Karena sudah lebih dari satu dasawarsa Pemerintah RI telah meratifikasi hasil Perundingan Putaran Uruguay. REFERENSI:
  • Sultani. 11 Februari 2007. Pers Semakin Tenggelam di Dekapan Komersialisme. Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas
  • Albilah. 23 Januari 2010. Peranan Pers. http://albillah.blogspot.com/
  • Nabble. 12 Februari 2007. Sastra Pembabasan. http://old.nabble.com/

0 komentar:

Post a Comment